Strategi Komunikasi Krisis di Era Digital: Komunikasi sebagai Senjata Reputasi di Era Online

Strategi Komunikasi Krisis di Era Digital: Komunikasi sebagai Senjata Reputasi di Era Online

Strategi Komunikasi Krisis di Era Digital: Komunikasi sebagai Senjata Reputasi di Era Online 

DALAM era digital yang serba cepat dan transparan, krisis bisa datang dari mana saja dan menyebar dalam hitungan detik, terutama melalui media sosial. Komunikasi krisis, sebagai cabang dari ilmu komunikasi strategis, kini memainkan peran yang semakin penting bagi organisasi dan perusahaan. Keberhasilan dalam mengelola krisis tidak hanya ditentukan oleh kecepatan bertindak, tetapi juga oleh kecakapan dalam menyampaikan pesan yang empatik, jujur, dan strategis kepada publik. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa komunikasi krisis tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan konvensional semata, melainkan harus memanfaatkan teknologi digital, memahami dinamika opini publik online, dan menjadikan media sosial sebagai kanal utama pengelolaan informasi.

Onisa Zalukhu (2020) menekankan bahwa di era digital, media sosial telah menjadi tempat utama bagi publik untuk menyampaikan keluhan, protes, dan kritik. Keluhan konsumen yang dulunya bersifat privat kini dapat viral dan menjadi krisis reputasi dalam waktu singkat. Dalam kondisi ini, kecepatan respons dan keterbukaan organisasi menjadi sangat krusial. Menurut definisi Coombs (2007), krisis adalah “persepsi atas suatu kejadian tak terduga yang dapat mengganggu ekspektasi penting para pemangku kepentingan dan memberikan dampak serius bagi organisasi.” Artinya, krisis bersifat perseptual. Maka dari itu, bagaimana publik memahami suatu peristiwa jauh lebih penting ketimbang fakta teknis di baliknya.

Studi terbaru oleh Inas et al. (2024) mengenai oleh brand Mixue di Bangbarung Bogor menunjukkan bagaimana strategi komunikasi krisis dapat diterapkan secara efektif dalam menghadapi isu sensitif terkait kepercayaan publik—dalam hal ini, tidak terdaftarnya Mixue dalam sertifikasi halal MUI. Menggunakan pendekatan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari Coombs, Mixue menerapkan dua strategi utama: diminishment dan rebuild. Pada strategi diminishment, Mixue mengakui bahwa mereka memang belum memiliki sertifikat halal, namun memberikan klarifikasi bahwa 90% bahan baku mereka diimpor dari Tiongkok dan proses sertifikasi sedang berlangsung.

Kas138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*