Mengungkap kearifan lokal Indonesia dalam mengelola gula aren yang berkelanjutan

Mengungkap kearifan lokal Indonesia dalam mengelola gula aren yang berkelanjutan

Aktivis lingkungan menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta pada Jumat (7 Juni 2024), 

Banyak orang di seluruh dunia mungkin masih bertanya-tanya tentang lokasi geografis Provinsi Banten dan Gorontalo.

Kedua provinsi ini merupakan bagian dari Indonesia tetapi terletak di pulau yang berbeda — Banten terletak di Pulau Jawa, sedangkan Gorontalo berada di Pulau Celebes (Sulawesi). Keduanya termasuk di antara 38 provinsi di Indonesia.

Secara historis, masyarakat lokal di wilayah ini telah terlibat dalam kombinasi kehutanan, pertanian, dan perikanan. Mereka memanen rempah-rempah dari hutan dan ladang pada siang hari dan menghabiskan sebagian waktu mereka untuk memancing di danau atau laut terdekat.

Cara hidup tradisional ini telah berkembang menjadi bentuk kearifan lokal yang menyelaraskan aktivitas manusia dengan lingkungan. Pada zaman dahulu, masyarakat lokal terutama melakukan perjalanan melalui laut untuk perdagangan domestik dan internasional.

Baik Banten maupun Gorontalo merupakan rumah bagi banyak warisan, termasuk Hukum Daerah kuno yang mengatur bagaimana orang menggunakan, menavigasi, dan melakukan perdagangan melalui laut, yang disebut sebagai Ammana Gappa (1697-1723).

Undang-undang ini, yang ditetapkan oleh penguasa Wajo di Makassar, menjadi dasar bagi peraturan perdagangan maritim regional. Seiring berjalannya waktu, undang-undang ini menjadi rujukan utama dalam pembahasan hukum maritim internasional, yang akhirnya memengaruhi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982.

Selama perjuangan Indonesia untuk kedaulatan atas perairannya, para pendiri bangsa memainkan peran penting dalam negosiasi diplomatik untuk mengamankan pengakuan internasional atas perairan teritorial dan internal Indonesia.

Selain itu, masyarakat setempat berhasil mengembangkan Kapal Tinggi Pertama pada abad ke-14 yang disebut Pinisi (Kapal Layar Indonesia), yang telah diakui UNESCO sebagai budaya tak benda dunia milik manusia.

Sementara itu, di Provinsi Banten, karakter yang sama juga ditemukan, terutama pada masa Kerajaan Nusantara ketika utusan Sultan Banten beserta rombongan (perwakilan penguasa Banten) pada abad ke-16 (seperti yang tercatat dalam The Diary Of John Evelyn, 31 Oktober 1620-27 Februari 1706) berlayar mengarungi lautan internasional untuk mengunjungi hubungan-hubungan di Afrika dan disambut oleh Raja Charles II.

Selain bepergian, masyarakat Banten gemar menjelajahi hutan dan beraktivitas di persawahan dan ladang untuk menghasilkan rempah-rempah yang menarik minat para pedagang internasional.

Sebagaimana dicatat oleh banyak sejarawan, Kepulauan Jawa dan Sulawesi terkenal sebagai pusat pemerintahan kerajaan dan sumber bahan rempah-rempah organik, yang menarik banyak pengunjung untuk berbisnis dengan masyarakat setempat selama masa Kerajaan Nusantara sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

Istilah “Nusantara” telah diadopsi sebagai nama ibu kota baru Indonesia, yang terletak di Pulau Kalimantan.

Pertemuan pribadi dengan kearifan lokal

Saya berkesempatan mengunjungi Banten dan Gorontalo beberapa kali. Kunjungan pertama saya ke Sulawesi adalah ke Kendari pada tahun 1991, dilanjutkan dengan kunjungan ke Boalemo, Gorontalo, pada tahun 2016 dan 2017. Sementara itu, saya juga sering berkunjung ke Banten, karena Banten merupakan kampung halaman orang tua saya dan dekat dengan Jakarta, tempat saya tinggal.

Selama kunjungan tersebut, saya sangat terkesan dengan cara kedua masyarakat setempat ini, di bawah pengawasan pemerintah daerahnya, mengelola tanaman hutan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari mereka.

Pohon aren merupakan salah satu jenis pohon hutan produktif yang tumbuh subur di wilayah ini. Pohon ini masih banyak tumbuh di Gorontalo dan Banten. Secara topografi, kedua wilayah ini bergunung-gunung dan masih memiliki beberapa pohon hutan, yang sejak awal telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat.

Kedua masyarakat di provinsi ini menunjukkan keahlian yang luar biasa dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati hutan, menghasilkan keuntungan yang tidak hanya menguntungkan secara ekologis tetapi juga menguntungkan secara ekonomi dan sosial.

Namun, seiring berjalannya waktu, muncul tantangan baru. Kekayaan keanekaragaman hayati di wilayah ini semakin terancam akibat perambahan dan pertumbuhan penduduk yang cepat. Seiring dengan meningkatnya permintaan lahan untuk mengakomodasi perluasan pemukiman, tekanan terhadap ekosistem hutan pun meningkat.

Beruntungnya, pada kurun waktu 2015-2017, saya mengamati sebuah penelitian strategis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dalam Program Desa Mandiri Berbasis Aren.

Proyek ini berhasil memobilisasi masyarakat setempat untuk mengelola aset hutan melalui pengelolaan gula aren guna mendukung kohesivitas ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Masyarakat dilatih untuk mengolah nira air menjadi bioetanol.

Hasilnya sungguh luar biasa. Proyek ini berhasil menghasilkan sedikitnya 500 liter bioetanol dari 2.500 liter nira/nira. Selain bioetanol, masyarakat setempat terbiasa memproduksi kolang kaling sebagai makanan segar dan juga gula aren, yang keduanya memiliki kualitas tinggi dari segi manfaat kesehatan dan ekonomi. Residu dari proses produksi ini juga diolah menjadi pupuk dan produk biomassa.

Tindakan yang diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejalan erat dengan visi dan misi global untuk melindungi Bumi dari perubahan iklim, polusi, dan pemanasan global yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil.

Pada tahun 2022, Sekretaris Jenderal PBB memperingatkan tentang konsekuensi bencana jika gagal mengatasi perubahan iklim. Dunia sangat membutuhkan solusi energi bersih untuk mencegah krisis lingkungan dan kemanusiaan. Namun, untuk mencapai tujuan ini diperlukan tindakan kolektif di tingkat global.

Di tingkat nasional, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan porsi biofuel dalam bauran energinya, dengan target 31 persen pada tahun 2050. Namun, transisi ini penuh tantangan, karena industri energi di negara ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.

Oleh karena itu, para pemangku kepentingan energi Indonesia dan pihak terkait mendukung cara-cara kreatif untuk memanfaatkan biomassa dan bioproduk.

Sejalan dengan upaya di atas, cukup menggembirakan ketika semua pemangku kepentingan di daerah tetap waspada dan aktif dalam menjaga proyek yang ada, meskipun produksi bioetanol dari nira aren masih rendah atau stagnan.

Pengakuan dan kolaborasi internasional

Untuk lebih mempromosikan pengelolaan gula aren berkelanjutan di Indonesia dan secara global, beberapa lembaga utama –termasuk Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Universitas Negeri Gorontalo, dan SESRIC-OIC (berbasis di Turki)– telah berkolaborasi untuk menyelenggarakan webinar internasional pada 26 Februari 2025.

Langkah konkret ini telah menjadi rujukan bagi sedikitnya peserta dari 26 negara dan empat badan internasional (FAO dan tiga badan di OKI) yang hadir.

Langkah ini menjadi lebih bermakna dengan upaya narasumber dari Indonesia dan tim dalam memobilisasi sumber daya manusia dan alam, terutama dalam mengelola wilayah yang tergolong terpencil dan rentan. Wilayah-wilayah tersebut, meskipun memiliki tantangan dalam hal kualitas sumber daya manusia dan juga lingkungan, kaya akan keanekaragaman hayati.

Berbekal tekad, pengetahuan, dan dukungan para ayah dan ibu yang berkolaborasi dengan tim pentahalix, diyakini bahwa Indonesia terus memainkan peran penting dalam memberikan kontribusi baik bagi pembangunannya sendiri maupun dunia.

Saya sangat yakin bahwa pelestarian keanekaragaman hayati merupakan aset nasional yang strategis dan harus dioptimalkan oleh masyarakat Indonesia. Sudah seharusnya para pemimpin nasional dan daerah memprioritaskan isu ini dan mengintegrasikannya ke dalam program-program praktis yang berimbang.

Pohon aren, sebagai salah satu jenis palem dari sekitar ribuan bahkan jutaan flora di dunia, merupakan anugerah yang harus dilestarikan dan bahkan dikembangkan, sebagaimana jenis-jenis flora bermanfaat lainnya.

Saya berharap seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, individu, maupun pihak-pihak terkait, baik di dalam maupun di luar negeri, memiliki arah dan misi yang sama untuk mengelola kearifan lokal secara berkelanjutan.

Dengan membangun visi dan misi bersama, kita dapat memastikan pendekatan yang berimbang terhadap ketahanan pangan, energi bersih, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan sosial berkelanjutan bagi masyarakat di seluruh Indonesia dan sekitarnya.

0 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*